“Kami Bukan Barang Dagangan”

by admin irgsc

Oleh: Ardy Milik

Rombongan anak-anak berpakaian merah putih baru saja pulang sekolah. Saling bercanda. Perjalanan pulang sekolah mereka tempuh dengan jalan kaki. Rata-rata lima sampai dengan delapan kilometer sekali jalan. Teriknya matahari mereka sambut dengan tawa seringai. Senyum merekah. Wajah penuh harapan seolah mengirim pesan pada lambaian pepohonan kemiri yang berbuah lebat. Di tanah kering (pah meto) ini, masa depan sedang ditenun. Jagung bose dan lu’at santapan khas orang Meto, adalah menu santap siang pengganjal perut setelah diaduk jalanan berlubang dan berkelok keloknya dari SoE; ibukota kabupaten Timor Tengah Selatan. Tiga jam lamanya. Perjalanan yang cukup menguras daya. Berhimpit himpitan di dalam mobil sembari bertukar tawa yang tak selesai. Menguras energi bukan?

Kendaraan yang kami tumpangi baru saja akan beranjak dari rumah tempat kami berhenti santap siang ketika bertemu rombongan anak-anak SD Negeri Basmuti yang dengan lincahnya mengejar mobil demi mendapatkan tos dari orang asing di atas mobil. Ya, bahagia sesederhana itu. Tidak butuh analisis. Begitu mudahnya anak-anak mengakrabkan diri dengan orang lain yang tidak dikenalnya!

Penggalan Basmuti
Kedatangan kami ke Desa Basmuti Senin (19/08/2019) lalu lanjut ke Desa Kuanfatu. adalah untuk berbagi bersama masyarakat tentang bahaya dan malapetaka perdagangan orang yang sedang mewabah di Nusa Tenggara Timur. Kami, para relawan IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), mendampingi WVI (Wahana Visi Indonesia) ADP TTS datang untuk mendengarkan dan berbagi bersama masyarakat di Gereja GMIT Oenusa, dusun III Desa Basmuti dan Gereja Imanuel, dusun I Desa Kuanfatu.

Dari pertemuan itu kami mendapat cerita bahwa dalam tahun 2019 dua warga desa Basmuti meninggal di tanah rantau. Pertama, Embri Sebsandri Kebkole, -meninggal di Medan, pada malam tahun baru 2019 karena kecelakaan kendaraan bermotor dan jenazahnya tidak dapat dipulangkan dengan alasan tidak dapat diformalin. .

Semula keluarga Embri menuntut keras agar anaknya dapat dipulangkan, tapi perekrut yang adalah Om kandungnya tidak mampu memenuhinya. Anehnya, keluarga malah didatangi Kapolsek dan Danramil Kecamatan Kuanfatu untuk bermediasi agar anaknya yang bekerja di salah satu toko emas di Medan dapat dikuburkan di sana.

Korban lainnya, Yosep Tefa-Meninggal di Malaysia saat bekerja di kebun kelapa sawit karena gigitan buaya-Jazadnya tidak dapat dikenali, maka keluarga diminta untuk melakukan test DNA, untuk mengindentifikasi identitasnya.

Basmuti adalah salah satu desa di Kecamatan Kuanfatu dan didiami oleh 900 KK. Topografi desa ini berbukit-bukit. Iklim kering dan panas adalah iklim dominan.

Pada musim panas, air dijual dengan harga 10.000 per tiga jerigen. Meski demikian, potensi palawija seperti; sayur putih, bayam, bawang dan wortel cukup tinggi. Lagi, tanaman umur panjang, seperti kelapa, pinang dan kemiri hampir memenuhi sebagian besar wilayah desa.

Potensi sumber daya alam desa ini mengalir dari mulut puluhan bapak-ibu dan anak anak warga Desa Basmuti siang itu dalam sesi pemetaan potensi desa yang dipandu Arthurio Oktavianus. Okto mengajak masyarakat Basmuti melihat potensi potensi di bidang agrikultur dan holtikultura. Sebagai sumber ekonomi keluarga yang bila diatur sejak masa tanam sampai panen dengan baik dapat menjamin kehidupan di tanah sendiri. Dari pada harus ke luar daerah atau negeri mengerjakan kebun kelapa sawit miliknya para cukong atau menjadi asisten rumah tangga majikan yang sering berlaku laiknya binatang. Main pukul. Lempar. Sesudahnya tidak dirawat. Tak digaji. Bahkan dibiarkan meninggal (Baca: Adelina Sau)

Sesi berikutnya dibawakan Ardy Milik. Ardy memaparkan tentang sebab-akibat Tindak Pidana Perdagangan Orang; bagaimana mengatasinya dan cara bermigrasi aman bila hendak menempuh hidup di luar daerah atau luar negeri. Para hadirin menyimak dengan serius. Ayah dari salah seorang korban Perdagangan Orang, Yunus Kebkole (46) menanyakan bagaimana cara melapor dugaan perdagangan orang atau menindak pelaku perdagangan orang. Pertanyaan ini bertolak dari pengalaman pribadinya sekaligus pengalaman dalam amatan di kondisi sekitar.
Pada akhir bulan Juni 2019 sekitar 10 orang anak dari Desa Basmuti dibawa keluar dari desa untuk dipekerjakan di perkebunan Kelapa Sawit di Papua. Salah seorang warga Desa Basmuti SN (36) lewat sambungan telepon mengabarkan adanya perekrutan terhadap pemuda pemudi di Basmuti oleh orang yang tidak dikenal. Para pemuda dibawa dalam sebuah mobil van Putih. Hingga kini, pemuda pemudi tersebut belum dipulangkan.

“Kemarin ada mobil putih satu datang cari anak anak. Mereka bawa 10 anak ke Papua untuk bekerja di sana. Orang tuanya tidak tahu apakah mereka dijinkan atau tidak. Yang ambil ini orang Belu. Dia ada keluarga di sini. Kami tidak kenal dia” tutur SN Selasa (31/06/2019.

Berdasarkan penelitian IRGSC tentang “Dokumen Administrasi dan Migrasi di NTT” tahun 2017, yang salah satu locusnya diDesa Basmuti, mengungkapkan bahwa alasan warga memilih bermigrasi ke luar daerah atau luar negeri adalah: 77.8% untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi; 5% untuk memperoleh pekerjaan yang lebih mudah; 1.7% pekerjaan bertani tidak menjanjikan karena gagal panen; dan 1,7% mengatakan harga barang produksi pertanian rendah tidak sebanding dengan waktu bertani.

Penggalan tentang Kuanfatu
Sehabis mengecap ubi kayu rebus dan segelas kopi yang dihidangkan warga Desa Basmuti di Pelataran Gereja Immanuel Basmuti yang masih berlantaikan tanah. Kami bertolak ke Desa Kuanfatu. 5 kilometer jaraknya. Dengan jalan pengerasan dan tanaman perkebunan di sepanjang jalan menuju Kuanfatu.

Listrik di wilayah Kecamatan Kuanfatu hanya hidup dari pukul 12.00-00.00 WITA. Kalau di kota besar listrik yang hanya mati satu jam saja, jadi hits dan hujatan netizen. Pengelola bobroklah. Layanan listrik tidak profesionalah. Begitulah cacian yang sering beredar di media sosial. Di sini di Kampung Batu-demikian arti dari Kuan Fatu bila diindonesiakan-anak anak menikmati kondisi yang separuh gelap itu dengan mengejar kunang kunang.

Mungkin, mereka lebih solider dengan para pekerja di tambang batubara di Kalimantan atau Sumatera yang hampir tiap harinya meregang nyawa. Satu jam saja Perusahaan Listrik Negara tidak beroperasi, ada nyawa nyawa manusia yang terselamatkan dari lubang raksasa tambang batubara, kata seorang sepuh dalam obrolan di waktu senggang. Dari sekian tambang batubara di Negeri gemah ripah loh jinawi ini, salah satunya milik menteri cum wirausahawan yang mengkampanyekan industri ramah lingkungan di Afrika Selatan beberapa waktu lalu (baca kompas bulan Juli). Miris.

Jauh dari hiruk pikuk sentimen rasial yang dihidupi aparatus negara di Kota Pahlawan, kami menikmati perayaan kemerdekaan melalui Pameran Pembangunan di samping Kantor Desa Kuanfatu malam harinya dengan tajuk ‘Pameran Pembangunan.’ Entah apa yang dibangun. Anak manusianya terjual. Jalanan kota kecamatan masih saja berkerikil lepas.

Menarik tuturan pengalaman seorang penjual Salome di salah satu stand yang kami kunjungi. Dia telah hidup selama 20 tahun di Kota Kupang. Kembali ke kampung halamannya di Kuanfatu setelah belajar berdagang dari para pedagang asal Jawa. Hampir semua pekerjaan pernah dilakoninya, mulai dari jadi buruh kapal, tukang sol sepatu, ojek, pedagang kelontong keliling sampai kini berjualan Salome dan es kelapa.

“Saya kerja apa saja yang bisa menghasilkan uang. Anak saya ada lima. Yang paling besar sudah selesai kuliah. Dua orang lainnya sementara kuliah di Kupang. Saat saya sol sepatu keliling, saya bawa ayam atau asam, kalau ada pelanggan yang mau beli itu rejeki. Semua kerja bisa hasilkan uang. Yang penting mau kerja.” Tutur bapak ini sembari meminta anak lelakinya yang berumur 9 tahun untuk pergi membeli telur untuk dibaluri pada Salome.

Beberapa perempuan separuh baya duduk rapi sembari mengunyah sirih pinang. Remaja yang baru tumbuh cengingikan di sampingnya. Ada pula ibu yang menggendong anaknya. Mereka hendak mendengarkan dan berbagai pengalaman mengenai bahaya perdagangan orang dan bagaimana menghadapinya di Gereja Betesda Kuanfatu.

Saat penyampaian materi oleh Ardy terdengar desisan kaget di antara hadirin karena hingga Agustus 2019 sudah 78 PMI (Pekerja Migran Indonesia) asal NTT meninggal di luar negeri. Menurut para perempuan yang hadir sore itu dan memang yang hadir hanya para ibu dan anak-anak, warga Kuanfatu pergi ke luar daerah untuk mencari uang. Apakah tidak ada uang di tanahnya sendiri? Uang ada di kantong orang lain, bagaimana mengeluarannya itu yang sulit.

Alasan bermigrasi ini senada dengan hasil riset Perkumpulan PIKUL (Pengembangan Inisiatif dan Kapasitas Lokal) dipublikasikan tahun 2018 terhadap 500 pekerja di Kota Kupang tentang ‘Kota-Kota Kecil, Kabupaten Urban di Indonesia (Garis Depan Tantangan Tantangan Ketenagakerjaan, Migrasi dan Urbanisasi)’ yang menyatakan bahwa tujuan bermigrasi ke Kota Kupang adalah untuk mendapatkan uang tunai.

Merajut Asa
Bagi Amelia Sesfaot (23) yang selama 8 bulan ini mendampingi Orang Tua dan Anak Anak di Desa Basmuti dan Desa Kuanfatu dalam program ‘Pengasuhan Anak dan Pemberdayaan Anak’-Partisipasi orang tua di Desa Basmuti dalam kelas Parenting cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kehadiran orang tua dalam setiap kali pertemuan mencapai 15-20 orang. Dalam pertemuan tersebut orang tua menceritakan pengalamannya mendidik anak di rumah dengan menghargai hak anak dan menuntunya untuk berkembang sesuai dengan kehendaknya sendiri.

“Sejak bulan November 2018 sampai Agustus 2019 tingkat kehadiran orang tua dalam pertemuan di Desa Basmuti terlihat konstan dan stabil. Kostan maksudnya tingkat kehadiran mereka tidak pernah di bawah 15 orang, selalu di atas 15 sampai 20-an orang tua yang hadir. Di dalam kelas, orang tua aktif dan partisipatif. Mereka menyampaikan pada beta dengan spontan dan tidak malu-malu. Secara kognitif, mereka berani mengeksplorasi pengalamannya dalam mendidik anak kemudian membagikannya pada hadirin. Misalnya pada anak usia 5 tahun, bagaimana mereka mengajari anak untuk mengenali huruf,” terang Amel.

Bagi anak anak di Desa Basmuti khsusnya Dusun III Oesina, masih banyak yang belum tersentuh pendidikan. Menurut Amel, Partisipasi masyarakat di Desa Kuanfatu cukup rendah. Tingkat kepercayaan diri anak-anak pun rendah, padahal secara usia mereka lebih di atas anak-anak dari Desa Basmuti yang cenderung lebih aktif mengajukan pendapat. Mirisnya, dalam pendampingan Amel menemukan bahwa banyak anak-anak di Desa Kuanfatu yang hidup dalam pengasuhan kakek dan neneknya karena orang tua mereka memilih bermigrasi. Kedua Desa ini mengisahkan cerita tentang manusia yang tidak berhenti berharap. Berjuang merubah nasib. Anak-anak yang mendamba masa depan cerah. Perdagangan orang jadi momok yang menghantui. Pekerjaan rumah bersama adalah membangun karakter manusia yang mampu berdaya dan bertahan hidup di kampungnya sendiri dengan kapasitas yang dimiliki. Maka, dalam dua kali perjumpaan ini kami bersama mengatakan ‘Stop Bajual Orang NTT’. Kami bukan barang dagangan.

Leave a Comment