Berdialog dengan Modernitas

by Lodi Kini

Oleh: Dominggus Elcid Li

Membaca surat kabar 77 tahun lalu, yang terbit di Kupang dan membandingkan isinya dengan terbitan harian ini di tahun 2008 isi beritanya tak jauh berbeda.

Di Pos Kupang, protes para guru di tahun 2008 di Sikka dan Kefamenanu karena nasibnya tak berubah, tak beda dengan protes para guru di tahun 1929 di surat kabar Pewarta Timor. Tujuan dari menulis kali ini, mudah-mudahan, dari tulisan ini dapat dilihat jarak antara era kolonial, era Republik, era Orde Baru, dan era Otonomi Daerah, yang artinya sama saja: ‘perut kosong’ dan ‘mari menipu’.

Surat kabar Pewarta Timor, tanggal 15 Juni 1929 di halaman 1, seorang penulis tanpa nama (N.N) menulis tentang tidak diterimanya gaji para guru di Rote (Roti) dan Sabu (Savoe) untuk Bulan Desember 1928 dan Januari 1929. Seorang pendeta diduga korupsi.

Tulisan aslinya begini: Sebagai telah maloem pada toean2 pembatja bahwa nasibnja goroe2Volks dan Inl. Lerar Afdeeling Roti dan Savoe tidak menjenangkan. Djangan kepada t.t goroe itu kepada siapa djoega merasa ketjiwa, kalau peroetnya kosong.

Lalu dilanjutkan: Pada tanggal 3 Februari 1929 menoeroet 1 nota jang kita dapat dari pada seorang goroe dari Savoe bahwa pada tanggal terseboet diatas toean Sjioen pandita Roti en Savoe membawa gadjih seboelan jaitoe gadjih boelan NOVEMBER 1928 oentoek goeroe2 di bahagian Savoe.

Dari Pewarta Timor para pembaca pun tahu bahwa gaji para guru di dua pulau ini tidak dibayar. Selain itu diberikan kabar lain gaji para guru itu dibawa oleh seorang Pendeta (pandita) Sjioen. Tetapi Pendeta Sjioen sendiri mengaku bahwa ia sendiri menyatakan selama setahun ia pun belum dibayar gajinya ketika ditanya oleh Inl Leeraar Menia, toean Rame Haoe. Itu pun menurut penulis ini, ada beberapa kejanggalan (vergadering) yang dilakukan Tuan Pandita.

Berita selanjutnya Tuan T yang hendak mengungkapkan kasus ini dan berupaya mencari kebenaran ia pun kemudian dipindahkan oleh yang berwajib. Lantas penulis ini menulis lagi: ‘Inikah oepahan segala jang menoentoet kebenaran?’

Sejarah korupsi kita

Dari Surat kabar Pewarta Timor (1929) terekam, bahwa korupsi itu tidak kenal batas wilayah suci dan duniawi. Selain itu terekam jelas bahwa yang berusaha membuka kasus itu tak selamanya didukung oleh pihak yang berwajib. Kemudian dari sejarah kita tahu bahwa surat kabar itu sudah ada sejak di daerah Timor dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain Pewarta Timor, ada Soeloeh Timor. Jadi tradisi membaca koran itu sudah cukup lama untuk wilayah yang pernah dikenalkan dengan nama Sunda Kecil oleh M.Yamin—yang jauh lebih luas dari Sunda.

Lantas apa artinya jika di tahun 2008, seorang wartawan (Obby Lewanmeru) yang gencar menulis soal ubi Aldira dipukul oleh ‘orang-orang suruhan’ seorang pegawai Bank NTT, Dus Helmon. Selanjutnya lima orang suruhan Dus dimasukkan di penjara, sedangkan Dus ada dalam tahanan kota. Di halaman dua dari dua halaman, redaksi Pewarta Timor, memuat protes seorang penulis lain untuk berita berbeda: apakah mungkin ada keadilan jika berkaitan dengan keluarga? Pertanyaan ini masih lah aktual, karena keluarga merupakan hal penting dalam masyarakat kita, sehingga untuk pertanyaan itu kita selalu bersikap mendua.

Untuk pihak kepolisian, khusus untuk kasus pemukulan wartawan, apa yang diharapkan adalah memberikan penjelasan kepada publik apa sebenarnya motif pemukulan itu. Hal ini sederhana dan dapat dibuka jika perangkat hukum bersikap jujur dan terbuka. Agar tidak ada orang yang semena-mena dan seenak perut melanggar hukum negara.

Sebagai catatan ingatan, biar lancar bekerja, beberapa fakta ini bisa kita cermati: pertama, benar Bupati Manggarai Barat, lewat perangkat pemerintahannya telah memberikan pernyataan bahwa ia tidak terlibat dalam tindakan pemukulan. Kedua, diketahui Dus Helmon adalah kerabat atau orang dekat Bupati. Ketiga, tidak ada liputan wartawan soal perkara Bank NTT seperti yang menjadi alibi para pemukul suruhan Dus Helmon.

Dari pengalaman hidup di ibukota kabupaten, relasi antara bupati, sekwilda, jaksa, kapolres, dandim, kepala pengadilan, dan wartawan, itu hubungannya ‘seperti keluarga’ saja. Sebagai bentuk hubungan antar para manusia yang harmonis itu sah-sah saja sebab orang memang harus hidup damai, tetapi hidup harmonis tidak berarti meninggalkan prinsip hidup berbudi dan jalan lurus.

Pertanyaan saya untuk Kapolres, dan tentunya atasan langsung (baca: Kapolda), singkat saja, apa motif pemukulan ini? Jika alibi itu tidak terbukti lalu apa penjelasannya? Permintaan saya satu, mohon dibuktikan bahwa semua orang sama di mata hukum. Ini penting karena menyangkut kredibilitas para perangkat hukum itu sendiri, artinya integritas bapak berdua dalam tahap ini.

Kolusi Pejabat

Memang dalam lingkup negara, jaringan keluarga masih merupakan jaringan utama untuk berkuasa sehingga posisi-posisi kunci di tingkat negara pun loyalitas keluarga adalah yang utama. Di NTT juga sama, keluarga masih merupakan hal yang utama, sehingga tidak jelas batas-batas peran yang dimainkan dalam ruang-ruang sosial yang berbeda. Tidak jelas mana yang dikategorikan profesional, dan mana yang personal.

Akibat yang paling jauh sebenarnya sedang kita rasakan sekarang, apa pun nama institusi moderen yang kita adopsi tetap ada dalam cita rasa keluarga atau rasa ‘anak suku’. Baik itu di wilayah pemerintahan, universitas, ordo keagamaan, pilkada, tender proyek, dan lainnya. Kita tidak bisa membedakan dan memberikan pengertian sejauh mana wilayah ‘keluarga’ maupun wilayah ‘negara’ dalam fase tertentu berbeda dalam hidup sehari-hari.

Membaca koran tahun 1929, rasanya sama seperti membaca berita on line Pos Kupang hari ini di internet. Korupsi masih jadi penyakit, yang menuntut keadilan masih gampang ‘di ping pong’, dan para guru masih susah.

Sebagai pengingat waktu, Indonesia diproklamirkan tahun 1945, tetapi mengapa membaca tulisan tahun 1929 sama dengan rasa 2008? Apa yang keliru dengan manusia Indonesia? Dan apa yang keliru dengan manusia di NTT? Mengapa tindakan memukul semena-mena masih menjadi bagian dari kita? Dan mengapa hukum masih menjadi sesuatu yang asing, sehingga membakar rumah masih merupakan ‘cara lokal’ untuk memenuhi rasa adil?

Selama kita tidak berusaha mengenali karakter-karakter antagonis masyarakat ini dan diri sendiri, kita tidak sedang belajar hidup, apalagi beragama (baca: merayakan hidup). Karena kita jelas jauh dari cita rasa itu, karena tidak bertanya, dan apalagi berusaha menjawab pertanyaan utama semacam ini: ‘Who am I?’ atau ‘siapakah saya manusia?’.

Selama kekosongan ini terus terjadi, selama itu pula, perubahan institusi, jabatan baru, atau dari yang telanjang sekarang memakai penutup aurat, atau apa saja, sebenarnya hanya lah berbeda bentuk tetapi tidak berbeda isinya. Tepatnya memang tidak bergerak, kita tidak lebih ber-budi, atau sedang berusaha untuk ber-budi.

Lewat membaca surat kabar lintas waktu kita bisa memahami mengapa Mahatma Gandhi tidak pernah percaya dengan modernitas sebagai jalan keluar, apalagi perangkat hukum (Chatterjee, 1986). Hal ini yang menjadi inti perdebatannya dengan Rabindranath Tagore– maupun Pandit Jawaharlal Nehru (Sen, 2005). Gandhi melihat jalan modernitas tidak akan sanggup menyentuh sisi pencarian hidup manusia, sedangkan Tagore berpandangan ‘renungan dalam’ itu harus lah terbuka dan lebih optimis bersentuhan dengan modernitas yang harus dikawal dengan lebih dekat pada alam dan cinta manusia.

Meskipun berbeda, mereka tetap bersahabat hingga masing-masing ‘pergi’. Ya, orang-orang berbudi namanya abadi dalam waktu yang fana. Sedangkan para pengusung jargon jelas bukan orang yang sedang mampir minum air hidup, karena tak mampu ‘meng-ada-kan’ akal budi.

(14 April 2008)

Leave a Comment