Oleh: Dominggus Elcid Li
“Cari hidup kira-kira dimana?” tanya Jon Dos Santos seorang anak Tim-Tim (Timor-Timur) di sebuah pertigaan Kota Kupang pada pertemuan pertama , 14 Maret 2001. Lontaran kalimat Jon mudah sekaligus suli untuk dijawab. Mudah jika diam, menutup mata serta terus berjalan; dan sulit ketika harus memberi arti dan terus bertanya. Jon langsung menjawabnya sendiri, “ “Beta tau cari hidup di orang kaya punya rumah, nanti kalau ketong (kita, Bhs. Melayu Kupang) kerja di situ paling-paling ketong dapat uang.” Jawabannya singkat, mengatasi keadaan.
14 Maret 2001
Bertemu dan mendengarkan cerita Jon Dos Santos seolah diajak membayangkan ketakutan dari masa kanak-kanak. Dalam usia 10 tahun Jon telah kehilangan orang-orang terdekat serta ingatan tentang kisah yang telah dilampaui.
Bocah bertubuh kurus, hitam dan mata berkilat ini mengaku telah yatim piatu sejak bapaknya terbunuh saat gelombang pengungsian keluar dari Timor-Timur berlangsung, pasca jejak pendapat di akhir Bulan Agustus 1997. Kabar ini diperolehnya dari pengungsi yang ada di Kupang. Padahal sebelum itu Jon, bapaknya dan 50-an orang temannya telah ke Kupang, sebelum gelombang eksodus besar-besaran terjadi namun bapaknya memutuskan kembali ke Timor-Timur untuk mencari pekerjaan. Jon pun ditinggalkan di Gereja Ebenhaezer, Kupang.
Ia bercita-cita ingin menjadi tukang isi bensin, tetapi ia kadang juga ingin menjadi polisi agar bisa membalas dendam pada tentara. Jon sama sekali tak mengingat nama ibu dan saudaranya yang berjumlah 6 orang. Yang diingat hanya penggalan nama bapaknya. “Dos Santos itu dia punya nama,” katanya singkat. Jon kecil sudah tak mengingat nama kampungnya. Ia hanya mengingat nama kabupaten: Ermera. Lain dari itu telah pupus dan jadi anonim. Bahkan kerap kali dia harus siap memberi nama baru untuk setiap kisah di masa lampau ketika pertanyaan normatif tentang keluarga dilontarkan.
Jon selama tiga tahun dipungut anak oleh seorang ibu yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘Aci Leang’. Ia bisa tinggal di rumah, sekolah dan diberi makan dengan imbalan kerja. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan menjajakan kue & es manis telah menjadi pekerjaan sehari-harinya.
Setiap harinya Jon berjalan berkilo-kilo meter untuk menjual kue dan es. Satu tangannya membawa keranjang kue dan sebelahnya lagi menjinjing termos es. Jon terlihat kesulitan membawanya, apalagi jika kue & es masih penuh, belum laku. Tentu berat. Meski tangannya begitu kecil, bebannya tetap terangkat.
Daerah terlaris ada di tempat pengisian bahan bakar. Untuk pergi ke sana Jon harus berjalan 3 Km. Di hari libur Jon berjualan dari jam 6 pagi sedangkan di hari biasa ia berjualan sejak jam 1 siang usai sekolah.
Jon paling suka pelajaran matematika. Ia mendapat nilai nol,delapan, dan sembilan untuk pelajaran ini. Pada hari itu Jon dikawal Mery, seorang gadis sebaya yang bertugas menghitung kue yang diambil pembeli. Sebab kemarin Jon tekor sampai lima ribu, karena beberapa pemuda yang membeli jajanannya di tepi pantai menghardiknya untuk berbalik ke laut agar tak menghitung kue yang mereka makan.
Ceritanya mengalir lepas. Gambaran ketakutannya telah leyap. Ia telah melewati titik ekstrim ketakutan untuk merasakan kehilangan namun kepedihan masih jelas tergambar dari suaranya yang lirih dan tatapan matanya yang bergerak cepat tanda risau. Ia bisa tersenyum perih, memamerkan gigi putihnya namun tak sekalipun tertawa lepas.
Saat itu hampir jam 3 sore ketika kutanyakan padanya, “Sudah makan Jon?”
“Belum,” jawabnya.
“Sonde (tidak) lapar?”
“Beta sonde tau apa yang ada di dalam beta pung (punya) perut, tapi beta sonde rasa lapar,” katanya sambil tersenyum perih. Jon kecil pandai menghalau lelah, bila telah cape berjualan Jon berenang telanjang bulat di laut. “Beta telanjang saja, beta sonde malu,” katanya.
Dua pertanyaannya tak mampu kujawab hari itu.
“Sepuluh tahun itu sudah tua ko?”
“!”
“Kalau lu pung bapak dibunuh masa lu sonde balas dendam, karmana (bagaimana)?”
“!”
Pertanyaan Jon yang tak terjawab ini rasanya mirip dengan tema Film India dan Hong Kong yang kerap mengkampanyekan balas dendam. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Awan hujan menggantung saat kami berpisah di sebuah pertigaan yang lain.
15 Maret 2001
Jam 7.30 pagi tanggal di 15 Maret 2001 kami bertemu untuk kedua kali —dan terkakhir. Jon pergi menjual kue tanpa Mery dan saya pergi mencari nara sumber. Kami pergi bersama, tanpa banyak bercakap, dan berpisah di tempat sama tempat kami bertemu kemarin: di sebuah pertigaan sepi. Mulanya tak ada dalam pikiran ini adalah pertemuan dengannya yang terakhir. Terkaanku salah, tapi bukankah tak setiap kenyataan dapat ditebak?
Awal April 2001
Sejak itu Jon tak pernah tampak dengan keranjang kue dan termos es-nya. Dari Vini, teman sekelasnya di SD Inpres Perumnas I, Pasir Panjang, Kupang, didapat kabar bahwa Jon tak lagi berjualan, sudah tidak bersekolah dan juga tidak tinggal lagi bersama Aci Leang. Dari isu yang berhembus, ia kerap dipukul induk semangnya itu, dan memilih kabur.
29 Mei 2001
Menurut Aci Leang, ia pernah diberitahu tetangganya bahwa Jon berjualan tas plastik di Pasar Oeba. Ia berusaha mencarinya tapi Jon sudah tak ada. “Mungkin ia takut dan sembunyi,” katanya. Aci Leang mengaku mengambil Jon sejak awal tahun 1997 dari sebuah “LSM” yang mengambil anak-anak miskin di daerah yang terancam kelaparan di Tim-Tim tahun dan rencananya hendak ditempatkan di sebuah panti asuhan. Namun karena kucuran dana tak ada, maka panti asuhan itu pun membagi anak-anak Tim-Tim kepada para jemaat. Aci Leang mengaku membayar 100 ribu rupiah, sebagai ganti ongkos transportasi dari Dili ke Kupang.
“Nama sebenarnya adalah Ago Pito, saya yang mengubahnya menjadi Jon Dos Santos. Jon kabur karena dipengaruhi oleh seorang anggota Brimob asal Tim-Tim. Ini memang salah saya karena menyuruhnya berjualan, kalau tidak ia tidak mungkin lari sebab ia tidak mungkin dipengaruhi orang lain,” cerita Aci Leang. Menurut Aci Leang, Jon suka berkelahi. Beberapa orang tua murid pernah mendatanginya karena anak mereka dipukul Jon.
Menurutnya Jon sebenarnya masih memiliki orang tua. Namun Jon selalu bilang padanya, “Beta pung orang tua sudah mati, kalau masih hidup, kenapa dong (mereka) sonde cari beta?” Aci Leang juga mengatakan akan meminta LSM itu untuk membayar kembali semua uangnya, jika Jon dikembalikan ke Tim-Tim sebagai ganti ongkos pemeliharaan. Menurutnya selain Jon, ada 57 anak lain saat itu yang dibawa dari Tim-Tim. Sebagian telah dipulangkan dan sebagian lagi tetap ditahan karena telah terampil bekerja, dan ditahan induk semangnya.
Cerita riang yang biasanya memenuhi masa kanak-kanak, sepertinya jadi satu mimpi yang tak kunjung muncul dalam tidur anak Tim-Tim di daerah diasporanya. Di Timor Barat, di camp pengungsian, dan di tempat lainnya di mana kasus anak-anak yang terpisah dari keluarga, tanah, dan tradisi leluhurnya tak pernah disebut.
Dan jika hidup itu ibarat puzzle, Jon atau Ago Pito sedang dibawa untuk menemukan serpihan gambarnya. Entah ke mana angin hidup telah membawa kembang ilalang kecil itu? Saat ini diperkirakan 100 ribu hingga 120 ribu jiwa warga asal Timor-Timur ada di Timor Barat. Dalam hitungan angka pengungsian: anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia ini tenggelam; ini sekedar sebuah ingatan sebelum semuanya menjadi anonim di negeri yang terserang amnesia akut.
Meski harapan terbitnya damai dan harumnya ilalang di padang savanna terus terselip di sela bibir–dalam doa, namun sering kali anggapan tentang damai telah menjadi suatu keniscayaan ketika terus ditabrak dengan kenyataan keras. Jon Dos Santos adalah satu dari sekian anak Timor-Timur yang terhempas ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Tenggara Barat dan NTT. Mengomentari keadaan ini Uskup Baucau, Mgr.Bacilio Nascimento, SDB di Kupang (31/5) mengatakan, “ This is very big problem but unfortunately I have no solution, also I know this is one reality.” (elcid)