Klientelisme dan Kosongnya ‘Rule of Law’

by admin irgsc

Oleh: Dominggus Elcid Li

Apa yang terjadi dengan pentas pemilihan walikota seharga 23 miliar di Kota Kupang? Pertanyaan ini dengan sendirinya muncul usai warga kota menyaksikan dua kali debat terbuka kedua pasangan calon, maupun jika kita menimbang besarnya biaya Pilkada di NTT dan kaitannya dengan kemiskinan yang ditulis oleh penulis Lay Djarandjoera (Pos Kupang, 6/2/2017).

Terkait debat pertama, dua surat kabar lokal di Provinsi NTT menulis dua hal yang hampir mirip sehari setelah debat pertama. Harian Victory News menulis ‘Debat Kandidat Mengecewakan’ pada sub headline-nya, sedangkan Pos Kupang memuat kedua pasang calon ‘bertengkar’ sebagai headline-nya. Para awak media yang sempat berharap bahwa dalam debat kedua akan akan ada perubahan, tapi itu pun tidak muncul. Kedua suratkabar kembali menulis bahwa kedua pasangan calon tampil di bawah harapan.

Setelah debat pertama, KPU sebagai produser tayangan berinsiatif untuk mengganti moderator, dan memindahkan lokasi shooting (pengambilan gambar) dan berharap kedua faktor ini dapat menaikan kualitas debat. Ternyata strategi ini pun tidak berhasil, meskipun para moderator telah mengingatkan agar kedua pasangan calon fokus untuk berbicara soal visi dan program, dan tidak bertengkar urusan personal.

 Conditional cash transfer (CCT) dan ‘Clientelism’

Tema utama pertengkaran tak lepas dari ‘pola politik klientelisme’ yakni terkait ‘penyaluran anggaran pendidikan’ dan ‘dinasti keluarga’ dalam birokrasi maupun proyek pemerintah kota. Klientelisme (Clientelism) menurut Zucco (2011, hal.5) adalah ‘the provision of particularist benefits (goods or services) by politicians to voters in exchange for political support’ (penyediaan barang atau jasa yang diberikan oleh politikus kepada pemilih dengan imbal balik dukungan politik). Ia menulis bahwa pemberian CCT meningkatkan kemungkinan orang untuk memilih sebesar 35% (2011, hal.23). Zuco (2011) dan Hidalgo & Nichte (2015) menyatakan strategi klientalis dengan memanfaatkan CCT umumnya dipakai oleh incumbent. Meskipun dalam prakteknya di Indonesia, tafsir incumbent perlu dibuka di level pusat-provinsi-daerah, dan eksekutif-legislatif.

Studi tentang dampak CCT terhadap perilaku Pemilu dilakukan oleh beberapa peneliti (Hidalgo & Nichte 2015, Aytac 2013, Labone 2013, Zucco 2011).  Aytac yang melakukan riset di Turki menuliskan bahwa dana CCT dipakai untuk menaklukan komunitas pendukung lawan, dengan cara proporsi bantuan ‘secara berlebihan’ diarahkan ke sana. Zucco mengkaji tentang keterkaitan CCT dan perilaku pemilih, khususnya tentang bagaimana keterkaitan CCT dan klientelisme.

Sedangkan untuk hal yang lebih khusus John Siddel (2005) menyebut tiga kata kunci tentang praktek politik ‘Bossisme’ di Indonesia:  ‘Mafia Lokal, Jaringan, dan Klan’. Mafia amat terkait dengan fenomena ‘deep state’ terkait dengan fenomena gerak memusat partai-partai politik.

Keberadaan ‘deep state’ atau dalam Bahasa Turki disebut derin devlet secara paling jelas terbaca dari kosongnya otonomi penyelenggara dan pengawas pemilu. Idiom ‘deep state’ ini dipakai di Turki sejak 1996 untuk membahas tentang aktor-aktor yang tidak muncul dalam liputan media massa, namun memegang peranan penting di balik layar. Mulai dari aparat keamanan, hingga tukang pukul (hit man).

Sedangkan jaringan dan klan kita bisa tandai dari ekspresi dukungan yang muncul dan dimuat di media mulai dari institusi keagamaan, dan paguyuban etnis. Jika tiga kata kunci terkait bossisme ala Siddel ingin ditulis dari kota seperti Kupang, maka setidaknya ada tiga hal yang muncul di tahun 2017: CCT (Conditional Cash Transfer), Politik Birokrasi, dan ‘Deep State’.

Politik Patron dan Dukungan Politik

Satu ciri khas menyolok yang tampak dalam politik patron adalah posisi patron sebagai pelindung kelompok pendukungnya. Contoh aksi patron dalam birokrat, terlihat dari bagaimana kritik Jefri terhadap Jonas terkait perampingan para pegawai honor untuk mengurangi biaya belanja untuk pegawai, ditanggapi Jonas dengan jawaban ‘kasihan, mereka mau kerja dimana nanti’. Sebaliknya hal yang sama terkait dengan penundaan penyaluran dana PIP dijawab Jefri dengan ‘penyaluran bantuan itu merupakan hak, dan jangan dihalangi’. Modus ‘melindungi kawanan’ sebagai imbalan terhadap dukungan politik merupakan gambaran umum praktek politik patron-klien di Kota Kupang.

Dalam skema Pilkada Kota Kupang Tim Jefri kembali menggunakan taktik lama dalam bertanding. Skema pemberian dana pendidikan ini ia pakai juga dalam pemilihan DPR pusat dan ranting-rantingnya. Modusnya sama, para pemberi beasiswa didata dan dikelola. Artinya ‘anak-anak miskin’ didata, dan secara rutin Tim Jefri mengirimkan SMS kepada Ibu/Bapak mereka bahwa ‘beasiswa sudah ada’. SMS semacam ini kita temui di lapangan, dan cukup efektif karena mampu membuat orang berujar ‘Pak Jefri sudah duluan ke sini, ini masih ada sms dari tim!’

Pemberian anggaran PIP tidak hanya menyasar keluarga miskin, sekolah swasta yang tergolong elit dan siswanya berasal dari kalangan menengah ke atas di Kota Kupang juga diberikan beasiswa. Di titik ini penggunaaan taktik memanfaatkan CCT (Conditional Cash Transfer) atau pemberian uang tunai yang dilengkapi dengan SMS rutin, menyerang basis potensial membuat keberadaan CCT menjadi instrumen agresif.

Sedangkan strategi anggaran yang dilakukan oleh Tim Jonas dan cenderung tidak dikritisi oleh Tim Jefri bisa dilihat melalui penaikan gaji RT sekota Kupang, hingga bantuan tunai yang diberikan ke berbagai kelompok masyarakat berbasis anggaran Kota Kupang. Kelemahan RT yang diberi gaji adalah mereka dianggap sebagai ‘pegawai’, padahal kekuatan utama organisasi komunitas setingkat RT seharusnya adalah kolektivitas dan kebersamaan. Bukan uang. Sebab kuncinya ada pada kekuatan modal sosial. Namun, mungkin karena polanya cenderung sama makanya tidak ada bunyi kritik dari Tim Jefri terhadap Tim Jonas, dan yang dikritik hanya lah soal mutasi dan dinasti.

Dalam pandangan penulis, dalam periode ‘injury time’ upaya mengangkat persoalan-persoalan ini tidak lah perlu, karena ini bukan ‘faktor pembeda’ yang layak disorot. Sebab kedua tim melakukan kontrol atas transfer uang tunai dalam beragam program. Sehingga jika salah satu ingin menang perlu ada ‘pembeda yang lain’. Saat ini keduanya masih dalam posisi sama ‘orang baik, tukang bagi-bagi doi’. Para kandidat dan tim perlu membuktikan bahwa keduanya memiliki kualitas memimpin kota yang tergambar dari visi dan program, bukan hanya ‘mampu membeli pintu’.

Tanpa adanya ‘titik pembeda’, warga Kota Kupang kesulitan memilih atau tidak merasa perlu datang ke bilik suara. Tanda ketiadaan titik pembeda yang muncul dalam dialog publik membuat pembeda ditarik ke kasta yang tidak butuh kemampuan kognitif memadai, yakni dibawah ke persoalan primordial (baca: etnis) atau pun identitas lain (baca: afiliasi keagamaan).

 Politik Orang Kuat di Kota

Fenomena patron-klien Kota Kupang cenderung akan bertahan dalam waktu yang lama jika skema ‘deep state’ tidak dikaji dan dicarikan jalan keluarnya. Fenomena orang-orang kuat yang berkuasa dibalik layar membuat proses demokratisasi semakin sulit dilakukan.

Contoh aktivitas deep state terdapat dalam kegiatan masing-masing pasangan calon. Contohnya atas dukungan ‘sebagian’ komisioner KPU, yang diberi stempel oleh Bawaslu Provinsi NTT, ‘atas petunjuk’ Bawaslu Pusat, Tim Jonas kembali dihidupkan dan keputusan Panwaslu Kota dianulir, dan Panwalsu Kota Kupang dibekukan. Baru-baru ini DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum) menolak seluruh keputusan Bawaslu NTT ‘yang mendapatkan petunjuk’ dari Bawaslu Pusat. Meskipun tidak ada implikasi hukum untuk proses pencalonan ini Tim Jonas tetap maju bertanding, dan Bawaslu Provinsi NTT dinyatakan keliru. Pertanyaannya ‘intervensi orang kuat macam apa’ dibalik intervensi Bawaslu Pusat yang mampu membuat Bawaslu NTT menempatkan diri bukan sebagai badan otonom, tetapi badan yang ‘tidak memiliki sikap dan pemikiran otonom’? Otonomi pemikiran merupakan hal yang kosong dalam Pilkada Kota Kupang kali ini, baik di KPU Kota Kupang, Bawaslu Provinsi NTT, hingga Bawaslu Pusat.

Hal yang sama bisa juga ditanyakan, mengapa praktek politisasi dana PIP seolah dibiarkan begitu saja oleh Bawaslu Provinsi NTT tanpa komentar? Padahal,seperti yang diungkapkan dalam berbagai riset terkait CCT, biasanya instrumen ini hanya dipakai oleh calon incumbent. Namun mengapa Tim Jefri punya kuasa? Besarnya akses Tim Jefri terhadap data, dan implementasi PIP tidak bisa lepas dari posisi kuncinya sebagai bekas anggota DPR dari Partai Demokrat yang merupakan partai penguasa pemerintahan lalu. Rumor yang berkembang di Jakarta adalah posisi birokasi di eselon satu dan dua  di berbagai departemen masih diisi oleh orang-orang yang mendapatkan dukungan dari partai  pemerintahan sebelumnya.

Kondisi ‘politisasi birokrasi’ di pusat, tak begitu berbeda dengan di daerah. Sebab jika diteropong lebih jauh maka bisa dilihat dampak politik patron-klien terhadap polarisasi dalam birokrasi Kota Kupang. Kedua tim memiliki loyalis masing-masing dalam birokrasi. Menjelang hari pemilihan, titik ketegangan tidak begitu terasa di kalangan warga, tetapi amat berbeda dengan ‘tim sukses’ yang berasal dari jalur birokrat.

Politik praktis yang sedang dilakukan tidak mengenal pembedaan ruang. Seluruh arena menjadi arena adu kuasa. Kosongnya rule of law tercermin dari diamnya penyelenggara dan pengawas pemilihan umum terhadap persoalan-persoalan substantif, sebaliknya menjadi ‘dinamis’ jika bersinggungan dengan kepentingan masing-masing patron. Ketika penyelenggara, dan pengawas menjadi partisan posisi benar atau salah menjadi kosong.

Jika segala ruang dipakai untuk berpolitik maka tidak ada yang menjadi wasit. Semua menjadi pemain. Namun permainan yang hanya mampu dimainkan oleh ‘orang kuat’ atau patron bukan merupakan cita-cita reformasi. Singkatnya, untuk bertengkar, kita tidak perlu habiskan 23 miliar.

(14 Februari 2017)

Leave a Comment